Rabu, 19 Juni 2013

Perbedaan Sistem Pendidikan di Jepang dan di Indonesia

Tadi malam dapet shared dari temen facebook yang menurut saya sih yah, bagus banget sih, tapi gak tau menurut orang lain, yaitu tentang pendidikan di jepang dan di indonesia. Jadi sengaja saya copas isi dari shared tersebut tanpa mengubah isinya sama sekali, hanya pada bagian terakhir khusus pendapat dari saya pribadi :


SEKOLAH DI JEPANG VS SEKOLAH DI INDONESIA ?
SUDAHKAH MENTERI PENDIDIKAN KITA MENGETAHUINYA ?


Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.

Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.

Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang.

Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta.

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.

Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai. Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi.

Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membersihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.

Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.

Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji.
Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.

Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.

Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.

Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
Salam.

Sumber: edukasi.kompasiana.com

================================
 (Peringatan : Pendapat saya ini mengandung unsur yang dapat membuat kalian bingung karena sekali lagi saya menulisnya dengan posisi 70% mengantuk :p)

Itulah perbedaan sistem pendidikan di jepang dengan di negara ini, seperti yang kita lihat sendiri dilapangan.
Dan menurut pendapat saya pribadi sih, sistem pendidikan di negara kita tidak-lah buruk jika dibandingkan dengan negara-negara di afrika khususnya. Bahkan cukup baik untuk ukuran negara berkembang, bagaimanapun juga, bila saya melihat sebenarnya negara kita ini sedang mulai bergerak menuju negara maju, dan itu sangat bagus kalau menurut saya. Namun untuk menuju kesana tidaklah mudah, dan tentus saja seperti problem yang sering terjadi di negara-negara maju yaitu "Individualisme" dari masyarakat-nya.

Bagaimanapun juga itu adalah konsekuensi yang memang harus ditanggung oleh setiap negara maju, seperti yang kita lihat dinegara-negara maju seperti jepang, china, amerika, jerman, dll. Individualisme masyarakat di negara-negara tersebut sangat tinggi. Yah memang sih, individualisme itu bagus kalau menurut saya karena dengan sifat tersebut, maka kita akan lebih memikirkan diri kita sendiri daripada memikirkan orang lain terutama kejelekan orang lain :p. Namun karena pada hakekatnya kita manusia adalah mahkluk sosial, tentu saja individualisme yang terlalu tinggi juga tidak baik, karena kita tidak bisa hidup didunia ini sendirian.

Nah kembali ke konteks diatas, dalam masyarakat jepang sendiri mereka telah menanamkan nilai-nilai moral pada anak-anak mereka sejak berada di bangku sekolah dasar. Sehingga walaupun ketika mereka telah dewasa dan terlihat seperti individualis, namun nilai-nilai kesosialan pada diri mereka masih tertanam. Kita bisa melihat nilai-nilai moral dan kesosialan warga jepang ketika terjadi bencana tsunami pada 2011 lalu, dimana kota-kota yang terkena dampak tsunami paling besar, hanya dalam hitungan minggu kota tersebut sudah kembali seperti semula seolah-olah ada seorang pesulap hebat yang melakukan sulap terhadap tempat-tempat tersebut.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? jawabannya hanya satu "Karena dalam jiwa masyarakat jepang tertanam paham mendahulukan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi".

Dan satu pertanyaan lagi, lalu bagaimana dengan negara kita? menurut saya pribadi nilai-nilai norma pada diri pemuda negara ini sekarang mulai luntur, sekolah-sekolah hanya mementingkan nilai dan kepandaian dari muridnya tapi tidak ada satupun pelajaran disekolah yang mengajarkan tentang ilmu kehidupan dan norma kehidupan. Banyak keluarga yang hanya menyuruh anaknya untuk sekolah setinggi-tingginya dan mendapatkan nilai bagus, namun mereka lupa untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka bagaimana untuk survive di dunia ini, dan mereka cenderung memanjakan anak-anak mereka dengan berbagai fasilitas-fasilitas yang justru hal itu membuat mental anak-anak mereka lembek. Dalam pergaulan anak-anak muda lebih bangga melakukan hal-hal yang negatif daripada hal-hal yang positif. Selain itu, jika kita mau mentela'ah lebih luas lagi, kita akan menyadari satu hal yaitu, bahwa penduduk negara ini mulai jauh dari Idelogi Pancasila yang merupakan dasar negara ini, terutama pada sila ke-1, 3, dan 5.

Perbedaan jika dijepang warga negara-nya sudah ditanamkan jiwa samurai dan bushido dalam diri mereka, dan menanamkan paham keseragaman (tidak ada perbedaan antar warga negaranya). Sedangkan di Indonesia? Bahkan penanaman Ideologi Pancasila-pun hanya sebatas membaca di Sekolah Dasar dan di upacara bendera, namun tidak mengajarkan makna dan penerapan dari tiap sila dalam Pancasila itu sendiri. Itulah yang menurut saya perbedaan yang paling mencolok antara sistem pendidikan di Jepang dan di Indonesia. Memang hal ini sepeleh, tapi berdampak besar, dan karena itulah muncul sebuah istilah di negara kita yaitu :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar