Macam-macam Kearifan Lokal di Indonesia
Berikut adalah beberapa kearifan lokal di
berbagai daerah seluruh Indonesia, kita harus bahagia karena dengan adanya
kearifan lokal ini keadaan lingkungan Indonesia akan berkurang dari kerusakan
yang disebabkan oleh manusia Indonesia.
Siapkah Anda membaca?
Biasnya soal-soal PLH akan mengeluarkan soal
sebanyan 3-7 soal tentang Kearifan Lokal ini. Jadi jangan bosan untuk
membacanya. Kalau bosan membaca, bacalah sedikit sedikit tiap harinya, di jamin
nilai PLH mu akan baik. Semangat !!!
1. AWIG-AWIG (Lombok Barat dan Bali):
Awig-Awig memuat aturan adat yang harus dipenuhi setiap warga masyarakat di
Lombok Barat dan Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak
terutama dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam & lingkungan .
2. REPONG DAMAR (Krui-Lampung Barat): Repong
Damar atau hutan damar, merupakan model pengelolaan lahan bekas lading dalam
bentuk wanatani yang dikembangkan oleh masyarakat Krui di Lampung Barat, yaitu
menanami lahan bekas lading dengan berbagai jenis tanaman, antara lain damar,
kopi, karet, durian.
3. HOMPONGAN (Orang Rimba-Jambi): Hompongan
merupakan hutan belukar yang melingkupi kawasan inti pemukiman Orang Rimba (di
kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi) yang sengaja dijaga
keberadaannya yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak
luar.
4. TEMBAWAI (Dayak Iban-Kalimantan Barat):
Tembawai merupakan hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Iban di
Kalimantan Barat, yang didalamnya terdapat tanaman produktif, seperti durian.
5. SASI (Maluku): Sasi merupakan aturan adat
yang menjadi pedoman setiap warga masyarakat Maluku dalam mengelola lingkungan
termasuk pedoman pemanfaatan sumber daya alam.
6. PAMALI MAMANCING IKAN (Desa
Bobaneigo-Maluku Utara): Pamali Mamancing Ikan merupakan aturan adat yaitu
larangan atau boboso. Pamali Mamancing Ikab ini secara yurisdiksi terbatas pada
nilai-nilai adat, dan agama, tetapi konsep property right ini terbentuk dari
pranata sosial masyarakat yang telah berlangsung sejak lama dalam mengatur
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.
7. SIMPUK MUNAN/LEMBO (Dayak Benuaq-Kalimantan
Timur): Simpuk Munan atau lembo bangkak merupakan hutan tanaman buah-buahan
(agroforestry) yang dikembangkan oleh masyarakat Dayak Benuaq di Kalimantan
Timur.
8. KOKO DAN TATTAKENG (To Bentong-Sulawesi
Selatan): Sebelum mengenal pertanian padi sawah, orang To Bentong mewariskan lahan
bagi keturunannya berupa kebun (Koko) dan lading yang ditinggalkan (Tattakeng).
Koko adalah lahan perladangan yang diolah secara berpindah, sedangkan Tattakeng
adalah lahan bekas perladangan yang sedang diberakan.
9. MAPALUS
(Minahasa-Sulawesi Utara): Mapalus pada masyarakat Minahasa, merupakan pranata
tolong menolong yang melandasi setiap kegiatan sehari-hari orang Minahasa, baik
dalam kegiatan pertanian, yang berhubungan dengan sekitar rumah tangga, maupun
untuk kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan umum.
10. MOPOSAD DAN MODUDURAN (Bolaang Mongondow-Sulawesi Selatan):
Moposad dan Moduduran merupakan pranata tolong menolong yang penting untuk
menjaga keserasian lingkungan sosial.
11. KAPAMALIAN (Banjar – Kalimantan Selatan): Kapamalian merupakan
aturan-aturan (pantangan) dalam pengelolaan lingkungan, misalnya larangan
membuka hutan keramat.
12. PAHOMBA
( Sumba Timur- Nusa Tengara Timur ): Gugus hutan yang disebut Pahomba,
terlarang keras untuk dimasuki apalagi untuk diambil hasil hutanya. Pada
hakekatnya pohon-pohon di setiap pahomba itu berfungsi sebagai pohon-pohon
induk yang dapat menyebarkan benih ke padang-padang rumput yang relatif
luas.Karena itu, jika api tidak menghangus matikan anakan pepohonan itu, proses
perluasan hutan secara alamiah dapat berlangsung. Pepohonan di pahomba
disekitar batang sungai berfungsi sebagai riparian atau tumbuhan tepain sungai
yang berfungsi sebagai filter terhadap materi erosi, dan sekaligus berfungsi
sebagai sempadan alamiah sungai dan untuk pelestarian air sungai.
13. SUBAK
(Bali): Salah satu teknologi tradisional pemakaian air secara efisien dalam
pertanian dilakukan dengan cara Subak. Lewat saluran pengairan yang ada
pembagian aliran berdasarkan luas areal sawah dan masa pertumbuhan padi
dilakukan dengan menggunakan alat bagi yang terdiri dari batang pohon kelapa
atau kayu tahan air lainnya. Kayu ini dibentuk sedemikian rupa dengan cekukan
atau pahatan dengan kedalaman berbeda sehingga debit air yang mengalir di satu
bagian berbeda dengan debit air yang mengalir di bagian lainnya. Kayu pembagi
air ini dapat dipindah-pindah dan dipasang diselokan sesuai dengan keperluan,
yang pengaturannya ditentukan oleh Kelihan Yeh atau petugas pengatur pembagian
air.
14. TRI HITA KARANA (Bali): Tri Hita Karana, suatu konsep yang
ada dalam kebudayaan Hindu-Bali yang berintikan keharmonisan hubungan antara
Manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam merupakan tiga penyebab
kesejahteraan jasmani dan rohani. Ini berarti bahwa nilai keharmonisan hubungan
antara manusia dengan lingkungan merupakan suatu kearifan ekologi pada
masyarakat dan kebudayaan Bali.
15. BERSIH
DESO (Desa Gasang-Jawa Timur): Bersih Deso (bersih desa) adalah suatu acara
adat dan sekaligus tradisi pelestarian lingkungan yang masih dilaksanakan
masyarakat Desa Gasang sampai sekarang. Dilakukan setiap tahun pada bulan Jawa
Selo (Longkang) dipilih dari hari Jumat Pahing. Masyarakat secara berkelompok
membersihkan lingkungan masing-masing seperti jalan, selokan umum dan sungai.
Setelah selesai melaksanakan bersih deso secara berkelompok mereka
menyelenggarakan upacara semacam “sedekah bumi” dengan sajian satu buah buceng
besar, satu buceng kecil, sayur tanpa bumbu lombok tanpa daging, berbagai macam
hasil bumi yang biasa disebut “pala kependhem” dan “pala gumantung”.
16. WEWALER
(Desa Bendosewu-Jawa Timur): Tradisi bersih desa di Desa Bendosewu dikenal
dengan wewaler yang merupakan pesan dari leluhur yang babad desa. Isi pesan
adalah “jika desa sudah rejo (damai, sejahtera) maka hendaknya setiap tahun
diadakan upacara bersih desa.” Tradisi bersih desa disertai kegiatan kebersihan
lingkungan secara serentak, yaitu membersihkan jalan-jalan, rumah-rumah,
pekarangan, tempat-tempat ibadah, makam dan sebagainya. Kegiatan ini disebut
pula dengan “tata gelar” atau hal yang sifatnya lahiriah. Hal yang berkaitan
dengan “tata gelar” dalam bersih desa bagi masyarakat Bendosewu sudah menjadi
bagian hidupnya, sehingga tidak perlu diperintah lagi.
17. SEREN
TAUN (Kasepuhan Sirnaresmi-Jawa Barat): Seren Taun memiliki banyak arti bagi
masyarakat kasepuhan diantaranya adalah puncak prosesi ritual pertanian yang
bermakna hubungan manusia, alam, dan pencipta-Nya. Seren Taun adalah perayaan
adat pertanian kasepuhan sebagai ungkapan rasa syukur setelah mengolah lahan
pertanian sengan segala hambatan dan perjuangannya untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Seren Taun adalah pesta masyarakat adat Kasepuhan sebagai ungkapan rasa
gembira ketika panen datang. Seren Taun juga merupakan pertunjukan
kesenian-kesenian tradisional yang ada di masyarakat Kasepuhan. Adat istiadat
yang berlaku di dalam Kasepuhan ini mengatur pola kehidupan masyarakat dalam
berhubungan dengan sang pencipta (Hablum minallah), hubungan antar manusia
(Hablum minan naas) dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Hablum
minal alam).
18. TALUN
(Kampung Dukuh-Jawa Barat): Bentuk kearifan dalam pengelolaan SDA dan
lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan
diwujudkan dalam penataan ruang hutan, pelestarian dan pengelolaan air,
pengelolaan lahan dengan pengembangan talun. Selain itu juga diwujudkan dalam
pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis sumber daya alam, seperti padi
varitas lokal. Nilai yang menekankan pentingnya melestarikan lingkungan itu
dikuatkan lewat berbagai upacara tradisional, mitos dan tabu. Menurut warga
Kasepuhan, hutan digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:
Leuweung Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno;
Leuweung Sampalan atau Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan. Di sini warga boleh membuka lading, kebun sawah, menggembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang termasuk lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan tanaman musiman dan tanaman keras sehingga membentuk hutan buatan disebut Talun. Tanaman buah-buahan sering digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti petai, cengkeh, dan sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya akan ditinggal begitu saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif disbanding dengan kebun.
Leuweung Kolot atau Leuweung Geledegan atau hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun.
Leuweung Titipan atau hutan keramat. Hutan ini tidak boleh dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno;
Leuweung Sampalan atau Leuweung bukaan, yaitu hutan yang dapat digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan. Di sini warga boleh membuka lading, kebun sawah, menggembala ternak, mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Yang termasuk lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk. Bekas lahan lading ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan tanaman musiman dan tanaman keras sehingga membentuk hutan buatan disebut Talun. Tanaman buah-buahan sering digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti petai, cengkeh, dan sebagainya. Setelan Talun ditanami biasanya akan ditinggal begitu saja. Artinya pemeliharaannya tidak begitu intrnsif disbanding dengan kebun.
19. PIIL
PASENGGIRI (Lampung): Piil Pasenggiri merupakan falsafah hidup atau pedoman
dalam bertindak bagi setiap warga masyarakat Lampung, yakni: menemui muimah
(ramah lingkungan), nengah nyappur (keseimbangan lingkungan), sakai sambayan
(pemanfaatan lingkungan), dan juluk adek (pertumbuhan lingkungan).
20. UNDANG-UNDANG
SIMBUR CAHAYA (Lahat – Sumatera Selatan): Undang-Undang Simbur Cahaya yang sebagian
substansinya mengatur tentang pentingnya pelestarian lingkungan.
21. KE-KEAN
(Sumatera Selatan): Pengetahuan Ke-Kean adalah perhitungan waktu yang tepat
untuk menanam jenis tanaman tertentu yang dikaitkan dengan ilmu perbintangan.
22. TEBAT
(Pasemah-Sumatera Selatan): Salah satu bentuk kearifan lingkungan masyarakat
Pagar Alam adalah Tebat milik komunal. Tebat dapat dimiliki secara individual
maupun kolektif. Tebat memiliki fungsi sosial, untuk memperkuat rasa
solidaritas dan integrasi masyarakat. Setiap kali ikan dipanen, dilakukan bobos
tebas, yaitu menguras isi kolam oleh semua warga desa secara bersama-sama.
23. MAROMU
(Ngata Toro-Sulawesi Tengah): merupakan sistem kerja sama yang berlaku dalam
pengelolaan tanah/hutan bagi masyarakat adat Ngata Toro. Sistem ini mengandung
nilai saling membantu meringankan beban pekerjaan satu sama lain. Dari awal
pengelolaan hingga panen, sistem Maromu dilakukan secara bergiliran dari satu
keluarga/pribadi kepada yang lain. Pengelolaan tanah/hutan melalui beberapa
tahapan dan struktur yang diatur menurut ketegorisasi hutan.
24. WANA
NGKIKI (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana Ngkiki merupakan salah satu
kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro.Orang Toro membagi
hutan menurut pengetahuan asal pemanfaatannya sesuai kategorinya. Wana Ngkiki
adalah kawasan hutan di puncak-puncak gunung yang jauh dari pemukiman, yang
ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tidak terlalu besar, rerumputan, banyak lumut,
hawanya dingin, dan merupakan habitat dari beberapa jenis burung. Di dalam
hutan ini, tidak ada aktivitas manusia. Hutan ini sangat jarang dikunjungi.
Menurut hasil pemetaan luas Wana Ngkiki sekitar 2.300 ha.
25. WANA
(Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Wana merupakan salah satu kategori dari
pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Wana adalah kawasan hutan
belantara/hutan rimba dimana belum pernah ada kegiatan manusia mengolahnya
menjadi kebun. Wana adalah tempat berkembang biaknya binatang Anoa (lupu), babi
rusa (dolodo) dan lain-lain. Wana merupakan hutan primer sebagai penyangga
kandungan air yang banyak (sumber air). Sehubungan dengan itu, Wana tidak
pernah diolah jadi kebun. Bilamana diolah/dibuka akan membawa bencana
kekeringan. Begitulah pemahaman yang berkembang pada masyarakat adat Toro
secara turun-temurun. Wana dimanfaatkan khusus untuk mengambil damar, rotan,
wewangian, obat-obatan dan sewaktu-waktu tempat untuk berburu binatang dan
mencari ikan di sungai-sungainya, bilamana ada pesta di Ngata. Di beberapa alur
sungai pada waktu itu dilakukan kegiatan mendulang emas secara tradisional.
Dari hasil pemetaan partisipatif membuktikan wana merupakan hutan yang terluas
di wilayah adat Toro dengan luas sekitar 11.290 Ha.
26. PANGALE
(Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pangale merupakan salah satu kategori dari
pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Pangale adalah hutan yang berada di
pegunungan dan dataran. Pangale termasuk kategori hutan sekunder yang bercampur
dengan primer karena sebagian sudah pernah diolah tetapi telah kembali menjadi
hutan seperti semula. Bagi orang Toro pangale dipersiapkan untuk kebun dan
datarannya untuk sawah. Pangale dimanfaatkan juga untuk mengambil kayu, rotan
yang dipergunakan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Pandan hutan
dipergunakan untuk membuat tikar dan bakul, obat dan wewangian. Daun melinjo
dipergunakan untuk sayur. Pangale seluas 2.950 Ha biasa digunakan juga untuk
tempat berburu secara tradisional.
27. PAHAWA
PONGKO (Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Pahawa Pongko merupakan salah satu
kategori dari pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Pahawa Pongko adalah
hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan 25 tahun ke atas. Sudah hampir
menyerupai hutan sekunder semi primer (pangale). Pohon-pohonnya sudah tumbuh
besar, karena itu untuk menebangnya sudah harus menggunakan “pongko” (tempat
menginjakkan kaki yang terbuat dari kayu) yang agak tinggi dari tanah agar
dapat menebang dengan baik dan tonggaknya diharapkan dapat tumbuh tunas
kembali, sehingga sesuai dengan namanya yaitu Pahawa Pongko. Pahawa artinya
“ganti”. Dalam pemetaan hutan pahawa pongko dimasukkan dalam kategori pangale.
28. OMA
(Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Oma merupakan salah satu kategori dari
pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Oma adalah hutan bekas kebun yang
sering diolah. Oma banyak dimanfaatkan untuk tanaman kopi, kakao dan tanam-an
tahunan lainnya. Luas Oma yang tumpang tindih dengan TNLL berdasarkan pemetaan
partisipatif sekitar 1.820 Ha. Menurut usia pemanfaatannya Oma terdiri dari 3
(tiga) jenis yaitu :
Oma Ntua; Bekas kebun yang ditinggalkan 16 – 25 tahun. Usia pemanfaatannya tergolong tua, dalam arti tingkat kesuburannya sudah kembali normal. Untuk itu sudah dapat diolah kembali menjadi kebun.
b. Oma Ngura; Bekas kebun yang ditinggalkan 3 – 15 tahun. Merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan menggunakan parang. Rerumputan dan belukar merupakan ciri khasnya.
Oma Ngkuku; Bekas kebun yang berusia 1 – 2 tahun. Didominasi tumbuhan rerumputan.
Oma Ntua; Bekas kebun yang ditinggalkan 16 – 25 tahun. Usia pemanfaatannya tergolong tua, dalam arti tingkat kesuburannya sudah kembali normal. Untuk itu sudah dapat diolah kembali menjadi kebun.
b. Oma Ngura; Bekas kebun yang ditinggalkan 3 – 15 tahun. Merupakan jenis hutan yang lebih muda dibanding oma ntua. Pohon-pohon belum tumbuh besar dan masih dapat ditebas dengan menggunakan parang. Rerumputan dan belukar merupakan ciri khasnya.
Oma Ngkuku; Bekas kebun yang berusia 1 – 2 tahun. Didominasi tumbuhan rerumputan.
29. BALINGKEA
(Ngata Toro – Sulawesi Tengah): Balingkea merupakan salah satu kategori dari
pandangan tentang hutan menurut orang Toro. Balingkea adalah bekas kebun yang
usianya 6 bulan – 1 tahun. Sering diolah untuk tanaman palawija berupa jagung,
ubi kayu, kacang-kacangan, rica dan sayur-sayuran.
30. NAKI
KA BUKIT (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Naki Ka Bukit merupakan Upacara
adat yang lakukan apabila dalam musim panen tahun sebelumnya mengalami gangguan
entah berupa hama penyakit atau gangguan hewan. Upacara ini dilakukan setiap
lima tahun sekali dan sudah menjadi agenda yang tetap.
31. MIJAR
BUNGA BUAH (Kampung Raba – Kalimantan Barat): Upacara adat Mijar Bunga Buah
dilakukan berdasarkan ada tidaknya tanaman-tanaman buah berbunga. Tujuan dari
upacara ini adalah untuk menjaga agar buah-buahan yang akan dimakan tidak
menimbulkan hal-hal yang negatif. Kegiatan ini dipusatkan di tempat khusus yang
sekarang ini dilakukan di Malantokng. Sampai saat ini tempat tersebut
dikeramatkan menjadi Keramat Buah.
32. MALINAU
KAPAL (Sungai Pisang – Sumatera Barat): Malinau kapal memiliki dua versi, yaitu
malinau kapal baru yang pertama kali mau turun kelaut, dan jika kapal-kapal
nelayan selalu sial dalam setiap operasi (selalu ada halangan atau kesulitan
memperoleh hasil tangkapan).
Malimau kapal baru; Malimau kapal baru perisipnya merupakan suatu upacara untuk minta izin kepada Allah swt. untuk mengelola isi lautan.
Malimau kapal untuk membuang sial; Upacara malimau kapal yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan rangkaian upacara tergantung dari pantanagan yang dilanggarnya, tetapi jika nahkoda (=tungganai untuk kapal tonda atau bagan, = pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke dukun kapal untuk kapalnya dilimaui.
Malimau kapal baru; Malimau kapal baru perisipnya merupakan suatu upacara untuk minta izin kepada Allah swt. untuk mengelola isi lautan.
Malimau kapal untuk membuang sial; Upacara malimau kapal yang berkaitan dengan membuang sial ini relatif lama dan rangkaian upacara tergantung dari pantanagan yang dilanggarnya, tetapi jika nahkoda (=tungganai untuk kapal tonda atau bagan, = pawang untuk perahu payang) bersama ABKnya tidak tahu sebab kesialan yang menimpa, biasanya mereka langsung datang ke dukun kapal untuk kapalnya dilimaui.
33. PERELAK,
KEBUN MUDO-UMO RENAH dan UMO TALANG (Melayu-Jambi): Orang Melayu Jambi mengenal
dan menggolongkan perladangan dalam beberapa bentuk, yaitu perelak, kebun mudo,
umo renah dan umo talang. Perelak ialah sebidang tanah disekitar desa (kampung)
yang ditaami berjenis tanaman untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari
seperti cabai, kunyit, serai, laos, tomat, kacang gulai, ubi rambat, ubi kayu
dan pisang. Kebun Mudo ialah sebidang tanah yang ditanami satu jenis tanaman
muda tertentu, misalnya pisang, kedelai atau kacang tanah. Umo Renah ialah
lading cukup luas yang ditanami padi dengan selinga tanaman muda, seperti
cabai, tomat, terong, labu dan mentimun. Di sekitar lading itu mereka juga
menanami tanaman keras seperti duku, durian, karet dan sebagainya. Umo Talang
adalah lading jauh di tengah hutan yang biasanya ditanami padi. Disini juga
mereka menanam tanaman keras seperti karet dan durian. Mereka juga membuat
rumah sementara yang dihuni selama musim menunggu panen padi. Setelah panen,
lading tersebut akan menjadi kebun karet atau kebun durian.
34. RIMBA
KEPUNGAN SIALANG (Melayu-Riau): Masyarakat Melayu mengenal pembagian hutan
tanah yang terdiri dari tiga bagian, yakni tanah perladangan, rimba larangan,
rimba simpanan (hak ulayat) dan rimba kepungan sialang.
35. BONDANG
(Desa Silo-Asahan-Sumatera Utara): Masyarakat Desa Silo menerapkan tradisi
berupa upacara buka Bondang dan tutup Bondang dalam aktivitas pertanian. Buka
Bondang dilakukan pada saat akan memulai penanaman, sedangkan Tutup Bondang
diselenggarakan saat panen. Apa yang menarik dari kegiatan ini adalah bahwa
selain bersandarkan pada kearifan tradisional, konsep pertanian bondang ini
ternyata cukup sinergiss dengan upaya menciptakan keseimbangan lingkungan.
Dalam aktivitas pertanian, petani sama sekali tidak menggunakan zat-zat kimia
maupun obat-obatan yang dapat mengakibatkan berbagai dampak pada kesehatan dan
kerusakan lingkungan. Kegiatan pengolahan lahan pertanian dari mulai tanam
hingga panen sepenuhnya dilakukan secara tradisional, tanpa menggunakan
bahan-bahan kimia.
36. LUBUK
LARANGAN (Mandailing-Sumatera Utara): Lubuk Larangan adalah bagian sungai yang
dilindungi. Di dalamnya terdapat ikan jurung yang merupakan ikan langka dan
bernilai simbolik sebagai peralatan upacara pada Masyarakat Tapanuli Selatan
(Mandailing). Di Mandailing Natal terdapat 114 lubuk larangan yang dikelola
oleh masyarakat. Konsep ini merupakan kearifan tradisional yang terlaksana
secara berkesinambungan dari, oleh dan untuk masyarakat.
37. MACCERA
TASI (Luwu-Sulawesi Selatan): Maccera Tasi terbukti efektif dalam menggugah
emosi keagamaan (spiritual) warga masyarakat. Pada saat pelaksanaan upacara,
mereka diingatkan atas tanggungjawabnya untuk menghormati laut, menjaga
kebersihannya, tidak merusak dan tidak menguras potensi ikan laut secara
berlebihan.
38. BAU
NYALE (Sasak, Nusa Tenggara Barat): Kearifan masyarakat setempat tercermin
dalam upaya masyarakat memelihara dan melestarikan tradisi Bau Nyale yang
dikaitkan dengan kesuburan. Nyale atau cacing laut jelmaan dari putri kemudian
memenuhi air laut dengan warna-warni dan mudah ditangkap. Setiap tahun
dilakukan upacara Bau Nyale oleh pendudukk Sasak.
39. LEBUNG
(Sumatera Selatan): Dalam praktek pengelolaan sumber daya alam, lebung tidak
hanya merupakan cekungan tanah tetapi juga salah satu teknik penduduk setempat
untuk menampung ikan saat genangan air di lebak surut. Lebih dari itu, untuk
mengambil ikan yang terdapat di lebung ada mekanisme yang berada diluar aturan
lelang yang mengakomodir hubungan-hubungan antara pengemin dan pemilik lebung
supaya kepentingan kedua belah pihak terpenuhi. Untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
dari pihak tersebut, pengemin memberikan sejumlah uang kepada pemilik lebung
sebagai tanda ucapan terima kasih, bukan sebagai ganti rugi atas pengambilan
ikan di lebung.
40. TANAH
SEBAGAI IBU KANDUNG (Amungme-Papua Barat): Masyarakat Amungme yang hidup
disekitar Tambagapura yang kini menjadi kawasan eksploitasi PT. Freeport
Indonesia, mempercayai tanah sebagai ibu kandung atau mama. Kearifan budaya
Amungme yang berpersepsi tanah sebagai mama, menjadi motivasi budaya bagi
resisstensi warga Amungme terhadap penggalian gunung biji Erstberg dan
Grassberg. Kedua gunung ini dipercaya sebagai kepala mama. Kasus Freeport
merupakan suatu perlawanan budaya para tokoh adat Amungme yang tampil dengan
pesan budaya “te aro neweak lako” (alam adalah aku) atau tanah dipandang
sebagai bagian dari hidup manusia. Konsekuensi dari strukktur kepercayaan
budaya tadi adalah ketika dampak pencemaran dari limbah PTFI, dalam bentuk
pembuangan tailing ke dalam sungai Ajkwa dan Agawaghon dan semua anak sungai
sekitarnya, menyebabkan rusaknya ekosistem dan budaya Amungme. Sebaliknya
adanya pandangan bahwa tanah adalah mama atau bagian dari hidup manusia,
menuntun prilaku pemanfaatan sumber daya alam, terutama tanah, secara
hati-hati, tidak merusak dan tidak mencemari.
41. PASANG
RI KAJANG (Ammatoa, Kajang, Sulawesi Selatan): Masyarakat adat Ammatoa bermukim
di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, yang berjarak kurang
lebih 540 km ke arah tenggara dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Pasang Ri
Kajang merupakan pandangan hidup komunitas Ammatoa, yang mengandung etika dan
norma, baik yang berkaitan dengan perilaku sosial, maupun perilaku terhadap
lingkungan dan alam sekitarnya, maupun hubungan manusia dengan PenciptaNya.
Ammatoa bertugas untuk melestarikan Pasang Ri Kajang dan menjaganya agar
komunitas Ammatoa tetap tundukk dan patuh kepada Pasang. Pasang merupakan
pandangan yang bersifat mengatur, tidak dapat dirobah, ditambah maupun
dikurangi.
42. MOHOTO
O WUTA (Tolaki, Sulawesi Tenggara): Upacara Mohoto O Wuta agar kelak nanti
hutan yang mereka tebangi dapat menghutan kembali agar dapat dimanfaatkan oleh
generasi berikutnya. Hal ini dibuktikan dengan konsep-konsep (kenyataan
empirik) seperti ana homa, o sambu, dan laliwata yang merupakan suatu bukti
jika kawasan hutan bekas perladangan dapat pulih kembali.
43. O
KARUNA-O KANDADI (Muna, Sulawesi Tenggara): Pemberaan sebidang lahan setelah
satu atau dua kali tanam disebut O Karuna (dedaunan yang masih muda) dan
pepohonannya disebut O Kandadi. Konsepp ini mengandung makna pemulihan
kesuburan lahan. Caranya ialah dengan memelihara anak kayu yang tumbuh.
44. PANGALE
KAPALI (Tau Taa atau To Wana, Sulawesi Tenggara): To Wana berarti “orang dalam
hutan”. Mereka memiliki kawasan hutan suaka adat yang disebut “pangale kapali”.
Upaya-upaya komunitas masyarakat adat Tau Ta’a untuk menjaga kelestarian
pangale kapali tersebut, ditempuh melalui penegakan hukum adat beserta
pemberian sanksi pelanggarannya yang terkait dengan pengelolaan pangale kapali.
Hutan konservasi binaan masyarakat adat Tau Ta’a tersebut senantiasa berada
dalam pengawasan masyarakat. Berbagai upacara ritual, tabu serta tradisi
pelestarian pangale kapali tetap dipertahankan. Demikian juga hutan adat dan
berbagai keputusan adat lainnya diterapkan di tengah-tengah warganya guna
menjaga kelestarian atau kelangsungan hutan larangan tersebut.
Ass. wr. wb.
Awig-awig adalah salah kearifan lokal yang masih lestari di pesisir Lombok yang ditujukan untuk memelihara sumber daya ikan dan ekosistem pesisir. SDI yang lestari dan ekosistem yang terjaga mampu memberikan nafkah bagi nelayan secara berkelanjutan.
Awig-awig itu sendiri merupakan hukum adat yang tidak tertulis. tetapi sudah menjadi hukum yang berlaku secara luas di masyarakat. awig-awig ditemukan di dua pulau yaitu Bali dan Lombok yang memiliki keterkaitan sejarah dan budaya. Objek pengaturan dari awig-awig di masyarakat adat mengatur segala sendi kehidupan baik itu pertanian maupun perikanan dan laut.
oleh karena itu :
Mari kita lestarikan tradisi ini untuk laut Indonesia yang Lestari.
Wassalam
Awig-awig adalah salah kearifan lokal yang masih lestari di pesisir Lombok yang ditujukan untuk memelihara sumber daya ikan dan ekosistem pesisir. SDI yang lestari dan ekosistem yang terjaga mampu memberikan nafkah bagi nelayan secara berkelanjutan.
Awig-awig itu sendiri merupakan hukum adat yang tidak tertulis. tetapi sudah menjadi hukum yang berlaku secara luas di masyarakat. awig-awig ditemukan di dua pulau yaitu Bali dan Lombok yang memiliki keterkaitan sejarah dan budaya. Objek pengaturan dari awig-awig di masyarakat adat mengatur segala sendi kehidupan baik itu pertanian maupun perikanan dan laut.
oleh karena itu :
Mari kita lestarikan tradisi ini untuk laut Indonesia yang Lestari.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar